W.S. Rendra (1935-2009)Kepiawaian Si Burung Merak
     
     Sastrawan WS Rendra meninggal dunia di RS Mitra    Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis 6 Agustus 2009 pukul    22.10. Ia menderita penyakit jantung koroner. Dimakamkan setelah shalat Jumat 7 Agustus 2009 di TPU Bengkel    Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Sebelumnya, ia dirawat di Rumah Sakit Cinere sejak 25 Juni. Namun, karena kondisinya tak kunjung membaik, Rendra lalu dirujuk dirawat di RS Harapan Kita di Jakarta Barat, sebelum akhirnya ke RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading.
***
       Meski usianya 70-an tahun, kepak sayap si penyair berjuluk "Si Burung        Merak" ini masih kuat dan tangkas. Suaranya masih lantang dan sangatlah        mahir memainkan irama serta tempo. Kepiawaian pendiri Bengkel Teater,        Yogyakarta, ini membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam        dramanya membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh        seluruh anak negeri hingga ke mancanegara.
   
     WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan        teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama        sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak,        puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta        seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
   
     Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan namun        sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan        ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas        Gajah Mada selepas menamatkan sekolahnya di SMA St.Josef, Solo. Setelah        mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di        American Academy of Dramatical Art, New York, USA.
   
     Sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tersebut, ia telah giat menulis        cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat,        Kisah, Basis, Budaya Jaya. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan        naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia telah banyak menulis sajak        maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta        serta Empat Kumpulan Sajak yang sangat digemari pembaca pada jaman        tersebut. Bahkan salah satu drama hasil karyanya yang berjudul Orang-orang        di Tikungan Jalan (1954) berhasil mendapat penghargaan/hadiah dari        Departemen P & K Yogyakarta.
   
     Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut        gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.        Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya,        dilakukannya dengan sangat baik.
   
     Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat        aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra        Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu.        Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan.        Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung        Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
   
     Di samping karya berbau protes, dramawan kelahiran Solo, Nopember 1953,        ini juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas        bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota        Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
   
     Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk        Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua        tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya        ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and        Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga        naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex,        Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.     
   
     Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya pada acara        Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi pada tanggal 2 Oktober        1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School        Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang        sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia        secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata        dunia internasional.
   
     Beberapa waktu lalu, ia turut serta dalam acara penutupan Festival Ampel        Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya,        Jawa Timur, Selasa, 22 Juli 2004. Dalam acara itu, ia menyuguhkan dua        puisi balada yang berkisah tentang penderitaan wanita di daerah konflik        berjudul Jangan Takut Ibu dan kegalauan penyair terhadap sistem demokrasi        dan pemerintahan Indonesia. Pada kesempatan tersebut, lelaki yang akrab        dipanggil Willy ini didampingi pengusaha Setiawan Djody membacakan puisi        berjudul Menang karya Susilo Bambang Yudhoyono.
   
     Prestasinya di dunia sastra dan drama selama ini juga telah ditunjukkan        lewat banyaknya penghargaan yang telah diterimanya, seperti Hadiah Puisi        dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1957, Anugerah Seni        dari Departemen P & K pada tahun 1969, Hadiah Seni dari Akademi Jakarta        pada tahun 1975, dan lain sebagainya.
   
     Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, ia mengatakan bahwa        mise en scene tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri        sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam        pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan,        bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu        kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan,        kejujuran dan harmoni.
   
     Itulah Rendra, si bintang panggung yang selalu memukau para penontonnya        setiap kali membaca sajaknya maupun melakoni dramanya. ►atur-juka
      
       ======================
  
  Rendra dan Ajaran Kepedulian 
  
  DAHONO FITRIANTO
  
  "Dengan rasa hormat dan perasaan yang tulus, saya ucapkan terima kasih    kepada Freedom Institute dan Keluarga Bakrie, yang dengan khidmat    meneruskan cita-cita dan laku kebajikan almarhum Bapak Achmad Bakrie.    Selanjutnya, saya juga mengucapkan simpati yang dalam kepada Keluarga    Bakrie yang lagi terlanda musibah karena, tanpa diketahuinya, telah    terseret dalam kemelut yang diciptakan oleh PT Lapindo Brantas, yang    telah melakukan kesalahan fatal di dalam operasi eksplorasi yang    mengakibatkan banjir lumpur di Jawa Timur."
  
  Itulah kutipan pidato yang disampaikan Rendra sesaat setelah menerima    penghargaan Achmad Bakrie Award 2006 untuk Kesusastraan di Hotel Nikko    Jakarta, Jakarta, Senin (14/8) malam. Selain Rendra, dua tokoh lainnya    juga menerima penghargaan dan hadiah uang yang jumlahnya sama, Rp 100    juta, yakni Arief Budiman untuk kategori Pemikiran Sosial dan Iskandar    Wahidiyat untuk kategori Kedokteran.
  
  Pidato tersebut berbeda dengan naskah pidato resmi Rendra yang dicetak    pada booklet acara malam itu, dan tentu saja membuat kaget seluruh    hadirin. Bermacam-macam reaksi mengiringi kekagetan itu, ada yang    tertawa ngakak, ada yang bertepuk tangan, tetapi ada juga yang diam    saja.
  
  Bukan Rendra apabila dia tidak nakal dan aktual. Sebuah pidato    penerimaan penghargaan yang seharusnya resmi dibacakan dengan gaya    membaca puisi-puisinya—suara menggelegar dan intonasi khusus pada kata-    kata tertentu yang membuat orang tercekat. Isinya pun nakal, menyentil    langsung sang pemberi penghargaan yang kebetulan adalah salah satu    pemilik perusahaan penyebab tragedi banjir lumpur di Sidoarjo, Jawa    Timur, itu.
  
  Semua orang tahu bencana itu adalah masalah besar paling aktual yang    terjadi di dalam negeri saat ini. "Tiga desa telah tenggelam dan tidak    bisa dihuni lagi. Lima belas pabrik yang mempekerjakan 1.736 karyawan    terpaksa tutup dan menimbulkan masalah sosial ekonomi. Delta Sungai    Brantas yang subur, yang proses pembentukannya berabad-abad melebihi    usia peradaban manusia, hancur tertimbun lumpur untuk selamalamanya,"    papar Rendra puitis.
  
  Sentilan terhadap kelambanan penanganan tragedi yang dramatis tersebut    dilakukan dengan halus dalam bentuk harapan. "Tetap saya yakin bahwa    Keluarga Bakrie tidak akan berpangku tangan dalam hal ini. Keluarga    Bakrie pasti akan mengerahkan segenap usaha untuk bertanggung jawab atas    kecerobohan pekerja dan orang-orang di PT Lapindo Brantas." Kata "pasti"    diucapkan Rendra dengan penekanan dan suara menggelegar.
  
  Itulah Rendra, penyair, sastrawan, aktor, dan sutradara teater kelahiran    Solo, 7 November 1935. Dalam keterangan resmi Freedom Institute sebagai    lembaga yang menyeleksi dan memutuskan penerima penghargaan ini,    disebutkan bahwa Rendra terpilih sebagai penerima Achmad Bakrie Award    2006 karena dia telah menunjukkan jalan lain perpuisian Indonesia.
  
  Rendra disebut telah membuat sebuah pengecualian dalam arus utama    perpuisian Indonesia modern yang didominasi sajak-sajak liris. Puisi    Rendra adalah puisi yang naratif, berkisah, dan menggali segi-segi yang    terabaikan oleh dunia persajakan Indonesia. "Membuat ia menempati posisi    yang begitu unik, hampir seperti satuan tersendiri, dalam ranah sastra    Indonesia," demikian penggalan bunyi pernyataan tersebut.
  
  Kepedulian terhadap dunia sekitarnya terekam dalam karya-karya Rendra.    Simak beberapa karya besarnya, seperti puisi Sajak Sebatang Lisong    (1978), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), dan Bersatulah    Pelacur-Pelacur Kota Jakarta! (1970-an) atau karya-karya pementasan    teater seperti Perjuangan Suku Naga (1975) dan Panembahan Reso (1986),    sarat berisi kritik sosial terhadap berbagai hal yang terjadi di    masyarakat pada waktu itu—yang kadang masih tetap relevan sampai    sekarang.
  
  Tumbuhnya kesadaran
  
  Dalam pidato tertulis penerimaan Achmad Bakrie Award 2006, yang    seharusnya ia bacakan, Rendra menuturkan, kesadaran untuk peduli    terhadap lingkungan di sekitarnya pertama kali dikenalkan kepada dirinya    oleh seseorang bernama Janadi. "Mas Janadi menjadi guru pribadi saya    sejak saya berumur 4,5 tahun," tutur penyair bernama asli Willybrordus    Surendra Broto Rendra, mengenang masa kecilnya di Solo, Jawa Tengah.
  
  Pelajaran yang diberikan Mas Janadi dirumuskan dalam kalimat "Manjing    ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi" yang artinya kurang lebih:    "masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah". "Masuk dalam    kontekstualitas itu bekalnya rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta    kasih)," papar pria yang akrab dipanggil Willy ini.
  
  Rendra juga diajarkan untuk menyadari landasan hubungan antarmanusia    dalam konteks emansipasi individu yang digambarkan dalam kalimat    "ananingsun marganira, ananira marganingsun" (aku ada karena kamu, kamu    ada karena aku). Kalimat itu juga yang ia kutip malam itu untuk    mengkritik Freedom Institute yang mendukung sistem perdagangan bebas.   
  
  "Emansipasi individu yang peduli akan kesetaraan hak hukum, hak sosial,    dan hak politik antarsesama manusia harus dengan kesadaran bahwa    kekuasaan modal, distribusi, dan energi, tidak boleh dimonopoli oleh    satu pihak dengan kebebasan yang romantis dan cengeng. Sebab, itu akan    mengganggu kemaslahatan orang banyak." (Kompas, Rabu, 16 Agustus 2006)
   
     *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar