Sosok Sastrawan dan Budayawan ParipurnaSosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap, paripurna. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu juga dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional.
     Pulang dari Jepang, setelah tinggal di sana selama 22 tahun, Ajip Rosidi        merasa gamang. Kegamangan itu dipicu oleh kekhawatiran adanya        "pengultusan" terhadap dirinya. Juga kegamangan akan nasib budaya        tradisional yang terus terlindas oleh budaya global.
     "Saya merasa ngeri karena saya mendapat kesan bahwa saya hendak        dikultuskan sehingga timbul pikiran menciptakan Ajip-Ajip baru. Saya ngeri        karena saya khawatir hal itu menimbulkan rasa takabur," katanya.
     Suara batin itu diungkapkan Ajip Rosidi di hadapan para pencinta sastra,        termasuk para pengagumnya, pada seminar di Universitas Padjadjaran,        Bandung, yang khusus membedah kiprahnya di dunia sastra, Rabu (28/5/03).
     Hampir semua yang hadir memuji semangat dan dedikasi sastrawan kelahiran        Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, itu. Pengamat sastra        Dr Faruk HT, misalnya, secara implisit memosisikan Ajip sebagai "orang        langka" dengan kelebihan yang tidak dimiliki HB Jassin, Goenawan Mohamad,        dan Soebagio Sastrowardoyo.
     Ajip dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan        polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan        modern dan kebudayaan tradisional. Ketika kebudayaan modern dianggap        sebagai pilihan yang niscaya, kata Faruk, Ajip malah getol berbicara        tentang kebudayaan tradisional.
     Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) itu dikenal sangat taat asas        (konsisten) mengembangkan kebudayaan daerah. Terbukti, Hadiah Sastra        Rancage-penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa, dan Bali-masih rutin        dikeluarkan setiap tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 1988.
     Ajip juga dikenal sebagai "juru bicara" yang fasih menyampaikan tentang        Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981        ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka,        Jepang, serta memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto        (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural        Center.
     Di Negeri Matahari Terbit itu, seminggu Ajip mengajar selama 18 jam dalam        dua hari. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis. Ia        mengaku, Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang        Jakarta.
     Maklum, ia tidak disibukkan mengurus kegiatan-kegiatan lain yang cukup        menyita waktu, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), Ketua        Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya,        maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979).        Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda        ditulisnya selama di Jepang.
     Satu hal yang mengesankan Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran        mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka. Menurut Ajip, sastra        tidak hanya menjadi bahan konsumsi para sastrawan atau budayawan, tetapi        juga telah menjadi bahan bacaan para dokter atau arsitektur.
     Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang        ada. Ajip mengatakan, masyarakat Jepang sejak usia dini telah        diperkenalkan dengan buku. "Anak kecil sejak umur dua hingga tiga tahun        sudah diperkenalkan dengan buku."
     Kondisi perbukuan di Jepang juga mendukung terciptanya suasana itu. Harga        buku di sana ditetapkan sama di semua wilayah. " Harga majalah juga sama,"        katanya.
     Pendidikan juga lebih tertata rapi, tinggal melanjutkan tradisi yang sudah        berkembang. Tradisi itu mulai tertancap sejak reformasi Meiji. Reformasi        yang ditandai dengan pengiriman orang-orang Jepang ke negara-negara maju        untuk belajar banyak hal.
     Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran berbagai macam ilmu,        karya budaya, dan karya sastra ke dalam bahasa Jepang. "Jadi, orang        Jepang, walaupun tidak bisa bahasa asing, misalnya, mereka mengetahui        (dan) menguasai ilmu-ilmu di negara-negara asing," kata Ajip.
     Semua itu dilakukan bangsa Jepang dengan penuh semangat dan keseriusan.        Seorang profesor asal Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di        Jepang bercerita kepada Ajip, ada seorang mahasiswanya belajar dengan        menghafal kamus bahasa Inggris.
     Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan        bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing.        Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan        Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo        Daigaku sejak tahun 1949.
     Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di        Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40        mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku.
     "Saya mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan        Islam di Indonesia," kata Ajip. Beberapa muridnya kini sudah menjadi        presiden direktur dan manajer pada perusahaan-perusahaan Jepang di        Indonesia.
     Namun, Ajip mencatat, tingginya gairah dan minat mereka terhadap bahasa        asing bergantung pada kepentingan terhadap negara yang dipelajari itu.        Ketika perekonomian Indonesia berkembang, perhatian orang Jepang terhadap        bahasa Indonesia meningkat. "Sekarang Indonesia ambruk, perhatian juga        berkurang. Ada beberapa universitas yang tadinya punya jurusan bahasa        Indonesia, sekarang dan diganti dengan Cina," katanya Ajip.
     Kendati telah menghabiskan sebagian hidupnya di negeri orang, Ajip tidak        kehilangan pijakan pada kebudayaan daerah Indonesia. Hadiah Sastra Rancage        yang lahir sejak tahun 1988 terus berjalan rutin setiap tahun.
     "Saya mulai dengan serius, dan saya usahakan dengan serius. Ternyata        banyak yang membantu. Orang mau membantu kalau (kegiatan yang dibantunya)        dilaksanakan secara profesional," tuturnya mengenai ketaat-asasan Hadiah        Sastra Rancage.
     Namun, di tengah derasnya arus globalisasi, Ajip menyimpan sebersit        kekhawatiran mengenai nasib kebudayaan-kebudayaan daerah. Bagi dia,        globalisasi lebih banyak mengorbankan budaya-budaya daerah. Hal ini        terjadi karena serbuan budaya global sulit diimbangi kebudayaan daerah.
     Budaya global didukung oleh modal kuat serta teknologi tinggi, sedangkan        kebudayaan daerah hanya bisa bertahan secara tradisional karena tidak ada        yang menyediakan modal. Menurut Ajip, hal itu merupakan suatu pertarungan        yang tidak adil.
     "Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah)        itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak        bisa mengharapkan pemerintah," ujar budayawan yang sudah menjadi Pemimpin        Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun.       
     Oleh karena itu, banyak sastrawan dan budayawan Indonesia menyambut dengan        sukacita kedatangan Ajip ke Tanah Air. Ia pun telah merancang dengan        sejumlah agenda menghidupkan kembali kebudayaan daerah agar tidak hanya        mampu bertahan, melainkan juga bisa berkembang. Wujud konkretnya, antara        lain dengan mendirikan Pusat Studi Sunda bersama para sastrawan dan        budayawan Sunda pada hari Sabtu ini. Pusat Studi Sunda ini, salah satu        programnya, akan menerbitkan jurnal ilmiah Sundalana.
     Selain itu, Ajip masih tetap akan berkutat dengan kegiatan membaca dan        menulis. Untuk itu, suami Hj Patimah ini pun berencana tinggal di        Magelang, Jawa Tengah. "Saya berlindung kepada Allah, mudah-mudahan        dijauhkan dari rasa takabur. Mudah-mudahan saya selalu diberi kesadaran        bahwa apa yang saya lakukan hanyalah sebiji sawi."       
     Paripurna 
     Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan        kebudayaan merupakan sosok yang lengkap. Selain dikenal sebagai sastrawan        Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia        dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional.
     Pandangan para sastrawan tentang Ajip Rosidi ini terangkum dalam dialog        yang bertema Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip Rosidi, yang digelar Rabu        (28/5/03), di Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran Bandung.
     Dalam dialog yang berlangsung sekitar enam jam itu, tampil sebagai        pembicara Abdullah Mustappa, Teddy AN Muhtadin, Ganjar Kurnia, Ignas        Kleden, Faruk HT, serta Yus Rusyana. Selain itu, hadir pula beberapa        sastrawan seperti Ramadhan KH, Sitor Situmorang, tokoh politik Deliar Noer        serta puluhan mahasiswa dan pencinta sastra.
     "Sunda menjadi menarik di tangan Pak Ajip karena bukan sesuatu yang baku,"        ujar pengamat sastra dari Universitas Gadjah Mada, Dr Faruk HT. Menurut        dia, Ajip Rosidi mengalami polarisasi politik dan kultural sepanjang        hidupnya. Faruk menganggap polarisasi politik dan kultural tersebut        membuat karya-karya Ajip Rosidi terasa kaya makna, kritis, serta tidak        terjebak hanya pada satu budaya dan ideologi.
     Dia mencontohkan, ketika Ajip dielu-elukan sebagai orang yang berjasa dan        terhormat dalam kehidupan sastra Sunda, Ajip justru menengok sastra Jawa        dan sastra daerah lain. "Sulit mencari orang seperti Ajip dalam dunia        sastra Indonesia," kata Faruk.
     Sementara itu, menurut Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (PPIT)        atau Center for East Indonesian Affairs (CEIA) Dr Ignas Kleden, Ajip        merupakan tokoh penting dalam sastra Indonesia. Ajip, kata Kleden, tidak        hanya memainkan peranan luas dalam kesusastraan saja, namun juga        meninggalkan banyak jejak langkah dalam perkembangan kebudayaan daerah dan        kebudayaan Indonesia.
     "Sumbangan sastra dan kebudayaan Sunda kepada sastra dan kebudayaan        Indonesia diwujudkan melalui penulisan kembali dalam bahasa Indonesia        cerita-cerita sastra daerah," kata Kleden.
     Sedangkan peneliti dari Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Dr Ganjar        Kurnia, memandang sosok Ajip sebagai orang Sunda modern. Hal itu dapat        dilihat dari perhatiannya terhadap sastra Sunda. Ganjar menilai Ajip        memiliki perhatian sepenuhnya untuk melestarikan budaya Sunda, namun dia        juga tidak melepaskan keindonesiaannya.
     "Ajip Rosidi bukan orang yang etnocentris, provinsialis, atau sukuisme        dalam arti sempit," kata Ganjar. Dia menambahkan, Ajip juga telah membawa        budaya bangsa sampai kepada tingkat internasional. Selain itu, Ajip juga        dinilai sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah        kesundaan sehingga dapat dianggap sebagai "arsip hidup" paling lengkap.
     "Dapatkah kita memiliki Ajip-Ajip yang lain di masa mendatang?" kata        Faruk, di akhir ceramahnya.
     Perkataan Faruk tersebut ternyata ditanggapi dengan kekhawatiran oleh Ajip        Rosidi. Menurut Ajip, dia khawatir masyarakat akan mengultuskan dirinya.        Padahal, kata Ajip, dia sangat tidak suka dipuji, apalagi dikultuskan.        "Saya lebih suka dikritik daripada dipuji," kata Ajip.
   
     Sastra "Rancage" dan Sastra Daerah 
     Hadiah Sastra "Rancage" sudah berlangsung sejak 1989. Semula Hadiah Sastra        tahunan ini khusus untuk pengarang dalam sastra Sunda, namun mulai tahun        1994 diberikan juga kepada pengarang sastra Jawa. Empat tahun kemudian,        1998, Hadiah Sastra "Rancage" juga diperuntukkan bagi pengarang sastra        Bali. Sejak itu, setiap tahun Yayasan Kebudayaan "Rancage" yang diketuai        Ajip Rosidi selaku pemberi Hadiah Sastra "Rancage" menyediakan dua hadiah        untuk setiap daerah tersebut, yakni satu untuk "karya sastra" dan satu        lagi untuk kategori mereka yang ber-"jasa".       
     Seluruh suku bangsa di Indonesia saat ini merasa bahwa hidup matinya        sastra daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Padahal        sesungguhnya perkembangan sastra daerah menjadi tanggung jawab nasional        yang harus dihadapi secara nasional pula.       
     "Pengembangan sastra dan bahasa daerah seakan-akan diserahkan kepada suku        bangsa pemiliknya begitu saja, pemerintah seperti tak mau tahu," ujar        sastrawan Ajip Rosidi, di Denpasar. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu        berada di Bali dalam rangka menyerahkan Hadiah Sastra Rancage 1999 kepada        para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali.       
     Ajip Rosidi merasa prihatin atas keberadaan sastra dan bahasa daerah di        Indonesia sekarang ini. Pemerintah nyaris tak memberi perhatian yang        mamadai terhadap kehidupan sastra-sastra daerah tersebut. Padahal menurut        konstitusi, hal itu termasuk tanggung jawab pemerintah.       
     "Masalah yang dihadapi daerah di mana-mana sama, masalah pendidikan dan        penerbitan buku-buku," ujar Ajip Rosidi. Pada tahun 1998 lalu, terbit enam        judul buku berbahasa Sunda, dua bahasa Jawa, dan tiga bahasa Bali.
*** Ensiklopedi Tokoh Indonesia, dari berbagai sumber terutama Kompas 31 dan 29 Mei 2003
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar