Prosa Tentang Kehidupan | Kahlil Gibran

Bookmark and Share

HIDUP
Kahlil Gibran

KEHIDUPAN merupakan sebuah pulau di lautan kesepian, dan bagi pulau itu bukit karang yang timbul merupakan harapan, pohon merupakan impian, bunga merupakan keheningan perasaan, dan sungai merupakan damba kehausan.

Hidupmu, wahai, Saudara-saudaraku, laksana pulau yang terpisah dari pulau dan daerah lain. Entah berapa banyak kapal yang bertolak dari pantaimu menuju wilayah lain, entah berapa banyak armada yang berlabuh di pesisirmu, namun engkau tetap pulau yang sunyi, menderita karena pedihnya sepi dan dambaan terhadap kebahagiaan. Engkau tak dikenal oleh sesama insan, lagi pula terpencil dari keakraban dan perhatian.

Saudaraku, kulihat kau duduk di atas bukit emas serta menikmati kekayaanmu - bangga akan hartamu, dan yakin bahwa setiap genggam emas yang kaukumpulkan merupakan mata rantai yang menghubungkan hasrat dan pikiran orang lain dengan dirimu.
Di mata hatiku engkau tampak bagaikan panglima besar yang memimpin balatentara, hendak menggempur benteng musuh. Tetapi setelah kuamati lagi, yang tampak hanya hati hampa belaka, yang tertempel di balik kopor emasmu, bagaikan seekor burung

kehausan dalam sangkar emas dengan wadah air yang kosong.
Kulihat engkau, Saudaraku, duduk di atas singgasana agung; di sekelilingmu berdiri rakyatmu yang memuji-muji keagunganmu, menyanyikan lagu penghormatan bagi karyamu yang mengagumkan, memuji kebijaksanaanmu, memandangmu seakan-akan nabi yang mengejawantah, bahkan jiwa mereka melambungkan suka ria sampai ke langit-langit angkasa.

Dan ketika engkau memandang kawulamu, terlukislah pada wajahmu kebahagiaan, kekuasaan, dan kejayaan, seakan-akan engkau adalah nyawa bagi raga mereka.
Tetapi bila kupandang lagi, tampak engkau seorang diri dalam kesepian, berdiri di samping singgasanamu, menadahkan tangan ke segala arah, seakanakan memohon belas kasihan dan pertolongan dari hantu-hantu yang tak tampak - mengemis perlindungan, karena tersisih dari persahabatan dan kehangatan persaudaraan.

Kulihat dirimu, Saudaraku, yang sedang kasmaran pada wanita jelita, memasrahkan hatimu pada altar kecantikannya. Ketika kulihat ia memandangmu dengan kelembutan dan kasih keibuan, aku berkata dalam hati, "Terpujilah Cinta yang mampu mengisi kesepian pria ini dan mengakrabkan hatinya dengan hati manusia lain."

Namun, bila kuamati lagi, kentara dalam hatimu yang bersalut cinta terdapat hati lain yang kesunyian,

sia-sia meratap hendak menyatakan cintanya pada wanita; dan di balik jiwamu yang sarat cinta, terdapat j iwa lain yang hampa, bagaikan awan yang mengembara, sia-sia menjadi titik-titik air mata kekasihmu....

Hidupmu, wahai, Saudaraku, merupakan tempat tinggal sunyi yang terpisah dari wilayah perumahan orang lain, bagaikan ruang tengah rumah yang tertutup dari pandang mata tetangga. Seandainya rumahmu tersaput oleh kegelapan, sinar lampu tetanggamu tak dapat masuk meneranginya. Jika kosong dari persediaan pangan, isi gudang tetanggamu tak dapat mengisinya. Jika rumahmu berdiri di sehamparan gurun, engkau tak dapat memindahkannya ke halaman orang lain, yang telah diolah dan ditanami oleh tangan orang lain. Jika rumahmu berdiri di atas puncak gunung, engkau tak dapat memindahkannya ke lembah, karena lerengnya tak dapat ditempuh oleh kaki manusia.

Kehidupanmu, Saudaraku, diliputi oleh kesunyian, dan jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, engkau bukanlah engkau, dan aku bukanlah aku. Jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, aku akan percaya manakala mendengar suaramu sebagai suaraku, atau manakala aku memandang wajahmu, itulah wajahku sendiri yang tengah memandang cermin.

Share


{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar